Oleh:
Azwar (20103055)
Mahasiswa Stisipol Raja Haji Tanjungpinang
Prodi Sosiologi
KOTA TANJUNGPINANG merupakakan kota yang syarat akan sejarah, budaya, dan adat istiadat Melayu. Tanjungpinang juga merupakan salah satu kota yang terletak di Propinsi Kepulauan Riau sekaligus Ibu kota Provinsi Kepulauan Riau terkenal dengan sebutan Kota Gurindam Dua Belas, Pulau penyengat merupakan salah satu distinasi wisata religius, merupakan pusat kerajaan Riau Lingga karena di Pulau Penyengat bersemayam Raja Ali Haji yang termasyur dengan karya satra Gurindam Dua Belas.
Era milenia saat memberi pengaruh besar pada kehidupan masyarakat. Ilmu pengetahuana dan teknologi kian berkembang pesat sehingga setiap orang berusaha mendekatkan diri dengan perubahan dan kemajuan yang ada, termasuk dalam mengadopsi bahasa. Terkait adopsi bahasa tersebut.
Masalah yang muncul adalah penuturan bahasa daerah tertentu bepaling dengan bahasa yang lain ketika kembali ke daerah asalnya. Oleh karena itu sebuah tantangan dan harapan bahasa melayu di era milenial. Perubahan sikap berbahasa masyarakat dan kaum terpelajar yang kembali kekampung halamannya.
Sikap berbahasa masyarakat dan kaum terpelajar Melayu di pengaruhi oleh lingkungan dan pengetahuan pihak luar, khususnya penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan sudah megalami pergeseran ketika berkomunikasi dengan masyarakat di lingkungannya. Mereka lebih memilih bahasa yang dianggapnya lebih modern dan bergengsi di dalam lingkunganya, seperti bahasa Indonesia, Jawa, Padang dan bahasa luar Negeri lainnya.
Bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang ada di Kepulauan Riau bahasa yang sehari harinya berkomunikasi menggunakan bahasa melayu, meskipun bahasa Melayu termasuk bahasa yang besar di Kepulauan Riau, penutur bahasa ini mengalami penurunan serius.
Dengan terbuktinya penggunaan bahasa Melayu kurang terlihat di lingkungan/ ranah keluarga, masyarakat dan sekolah. Bahasa Indonesia, asing dan bahasa daerah lainnya lebih dominan dibanding dengan bahasa daerah sendiri. Dengan berkembangnya teknologi yang begitu pesat penggunaan bahasa Melayu di kalangan generasi milenial berkurang.
Sehari hari bahasa Melayu tidak lagi menjadi bahasa penghubung mereka dalam berkomunikasi. Ada anggapan bahwa anak melineal menggunakan sesuatu dari luar termasuk bahasa. Interaksi dan komunikasi tidak lagi menggunakan bahasa Melayu di antara mereka.
Bagaimana menyikapi perkembangan zaman tanpa melepaskan asset yang dimiiknya, inilah menjadi tantangan bagi penutur Melayu dimasa masa akan datang.
Masalah pertama, bagaimanakah tantangan bahasa Melayu pada era-milenial ini? Kedua, bagaimanakah harapan bahasa Melayu pada era-milenial ini? Tujuannya adalah mendeskripsikan tantangan bahasa Melayu di era-milenial. Kedua, mendeskripsikan harapan bahasa Melayu pada era-milenial.
Selanjutnya, ada beberapa hal yang harus dilakukan. pertama menyoroti fungsi bahasa melayu sebagai pengungkap budaya dan sebagai kearifan lokal pada Suku Melayu.
Bahasa Pengungkap Budaya Suku Melayu menyimpulkan bahwa bahasa Melayu bisa mengungkap Suku Melayu bagi generasi muda melalui nyanyian dan upacara penyambutan adat. Nyanyian dan tradisi penyambutan tamu merupakan upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Melayu dan penanaman nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya. kedua Upaya Revitalisasi Bahasa Melayu Menguatkan Pengetahuan Generasi Muda akan Nilai Kearifan Lokal.
Dalam hal ini menjelaskan bahwa kurangnya pengetahuan generasi muda tentang nilai-nilai kearifan lokal disebabkan beberapa faktor, yaitu sekolah tidak menyelenggarakan muatan lokal berbahasa Melayu, keluarga pasif berbahasa daerah, dan masyarakat (generasi muda) memilih untuk menggunakan bahasa yang lebih modern.
Kurangnya pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu, menunjang terperosoknya pengetahuan generasi muda akan nilai-nilai kearifan lokal daerahnya. Kondisi-kondisi tersebut sesuai dengan teori pergeseran bahasa menyangkut masalah mobilitas penutur sebagai akibat dari perpindahan penutur atau para penutur itu dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa, seperti penutur yang tadinya menggunakan bahasa emak, bapak, iye, ape, dan kene ape, ini merupakan bahasa yang sederhana kemudian menjadi tidak menggunakan lagi.
Pergeseran bahasa juga bisa terjadi dalam masyarakat, tutur menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain.
Akan ada pendapat pakar, bahwa hubungan yang berlangsung antar-satuan atau komponen secara teratur dalam kelompok sosial menercakup struktur, organisasi, nilai-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Artinya, keteraturan dan kelestarian suatu tuturan (bahasa daerah) dalam suatu masyarakat mutlak dijaga dengan baik untuk menjaga keberlangsungannya.
Era- milenial merupakan era yang canggih dan masyarakat sangat bergantung pada perangkat teknologi. Masysarakat berlomba lomba memilik dan menguasai era milenial dengan berbagai cara. Tantangan masyarakat Melayu di era milenial cukup berat. Era milenial mengharuskan setiap orang berpacu cepat dengan perkembangan teknologi yang tidak tergantung keberadaannya. Teknologi berkembangan pesat di seluruh pelosok dunia. Masyarakat memanfaatkan teknologi (internet) atau media sosial sebagai sarana komunikasi dan memperoleh informasi terkini.
Saat ini, media sosial telah menjadi platform pelaporan dan sumber berita utama bagi masyarakat. Sumber informasi melalui media sosial atau medsos menjadi andalan utama masyarakat, mulai bangun tidur sampai mau tidur kembali, masyarakat tidak lepas dari informasi. Bahwa tantangan bahasa Melayu pada era milenial berupa mobilitas masyarakat yang cukup tinggi untuk mencari pekerjaan dan generasi dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa tantangan bahasa Melayu pada era-milenial, berupa mobilitas masyarakat yang cukup tinggi untuk mencari pekerjaan dan generasi muda yang melanjutkan pendidikan ke kota-kota besar.
Tingginya jumlah masyarakat dan generasi muda yang bermigrasi ke kota-kota besar berpotensi melemahkan identitasnya sebagai putra daerah. Identitas yang dimaksud adalah bahasa dan budaya yang dimiliki tidak digunakan lagi ketika mereka berada di luar kota. Pergeseran tersebut juga disebabkan oleh faktor asimilasi dalam perkawinan. Asimilasi tersebut berdampak cukup signifikan terhadap penggunaan bahasa pada anak-anak hasil pernikahan beda etnis atau bahasa.
Orang tua tidak bisa menekan anak-anak mereka untuk memilih bahasa kedua orang tua mereka. Tingginya mobilitas generasi muda (terpelajar) yang melanjutkan pendidikan di kota-kota besar juga memiliki dampak negatif setelah mereka kembali ke daerah asalnya.
Satu diantara dampak negatif yang diperlihatkan kelompok cendekia ini adalah perubahan sikap berbahasa mereka. Kalangan terpelajar ini lebih memilih bahasa Indonesia dan bahasa luar ketika mereka berinteraksi, Alasan yang mencuat adalah bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu antar-etnis dan bahasa Melayu mudah dipahami.
Adanya anggapan bahwa bahasa-bahasa tersebut memiliki prestise yang tinggi di dalam masyarakat. Selain bahasa Indonesia dan Melayu, bahasa Jawa, dan asing menjadi pilihan masyarakat. (*)